JAKARTA - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi (Menristek Dikti) M Nasir menargetkan perguruan tinggi di Indonesia
harus berada pada posisi tiga besar di kawasan ASEAN (Asia Tenggara) pada 2019.
Menurutnya, perguruan tinggi kita ini ketinggalan di dunia.
Dia mengatakan, bahwa seluruh perguruan tinggi harus selalu meningkatkan kualitas, meningkatkan pelayanan, memperbaiki kinerja, dan memperbaiki apa saja aspek yang dirasa masih mengalami kekurangan.
Menanggapi visi Menristek, Mazhab Djaeng Indonesia (MDI) mendukung visi peningkatan kualitas perguruan tinggi di Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif MDI Dian Rosmala, secara umum kualitas perguruan tinggi di Indonesia masih rendah.
MDI mencatat sejumlah permasalahan di perguruan tinggi Indonesia. Pertama, kualitas tenaga pengajar. Jumlah doktor dan profesor perguruan tinggi masih minim. Hampir semua universitas mengalami hal yang sama.
“Tiga kampus besar di Malang, jumlah guru besar di Universitas Brawijaya sebanyak 133 orang. Dosen S1 sebanyak 235, dosen S2 sebanyak 1.189, dosen S3 sebanyak 541, dan dosen spesialis 1 (Sp1) sebanyak 128. Universitas Negeri Malang, sebanyak 82 guru besar, sementara total dosen 936,” papar Dian di Jakarta, Jumat (19/02/2016).
"Universitas Muhammadiyah Malang memiliki 102 Doktor dan Professor, dari jumlah dosen 1969. Dari semua kampus di Malang, tidak ada satu pun kampus yang memenuhi kuota 20% kuota Guru Besar," sambungnya.
Catatan kedua, sambung Dian, dunia kemahasiswaan dalam bentuk kebebasan berekspresi dan mimbar akademik. Menurutnya, sejauh ini beberapa kampus masih membatasi ruang gerak mahasiswanya untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang disinyalir masih kontroversi atau berada di luar ideologi kampus.
Seperti aksi demonstrasi di dalam kampus dengan isu lemahnya pelayanan birokrasi atau kebijakan kampus yang merugikan mahasiswa. Bahkan, tak pelak mahasiswa akan dikenai ancaman oleh pihak perguruan tinggi, seperti peristiwa di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang tahun 2012.
“Bulan Januari 2012, enam mahasiswa UIN Malang terancam drop out (DO) gara-gara melakukan aksi demonstrasi di kampus dengan tuntutan menolak kenaikan SPP dan pengusutan dugaan korupsi oleh pihak kampus,” terang dia.
Catatan ketiga, tuntutan akademik yang terlalu padat. Dian mengatakan, padatnya tuntutan akademik menyebabkan mahasiswa kekurangan waktu untuk meningkatkan kemampuan di luar kampus dan organisasi. Dia mencontohkan, tuntutan kampus untuk lulus cepat, 3,5 tahun hanya akan berdampak pada akreditasi kampus dan indeks prestasi kumulatif (IPK) tinggi mahasiswa.
“Namun, hal itu tidak ada jaminan mahasiswa tersebut matang secara pengetahuan,” tegas dia.
Untuk menunjang kualitas mahasiswa, MDI meminta pihak perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas tenaga pengajar. MDI juga juga berharap kampus tidak lagi membatasi mahasiswanya untuk berekpresi, kritis terhadap persoalan kampus, dan inovatif.
“Sinergi antara kampus, mahasiswa, dan organisasi mahasiswa akan mampu mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi,” tukas dia.
Dia mengatakan, bahwa seluruh perguruan tinggi harus selalu meningkatkan kualitas, meningkatkan pelayanan, memperbaiki kinerja, dan memperbaiki apa saja aspek yang dirasa masih mengalami kekurangan.
Menanggapi visi Menristek, Mazhab Djaeng Indonesia (MDI) mendukung visi peningkatan kualitas perguruan tinggi di Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif MDI Dian Rosmala, secara umum kualitas perguruan tinggi di Indonesia masih rendah.
MDI mencatat sejumlah permasalahan di perguruan tinggi Indonesia. Pertama, kualitas tenaga pengajar. Jumlah doktor dan profesor perguruan tinggi masih minim. Hampir semua universitas mengalami hal yang sama.
“Tiga kampus besar di Malang, jumlah guru besar di Universitas Brawijaya sebanyak 133 orang. Dosen S1 sebanyak 235, dosen S2 sebanyak 1.189, dosen S3 sebanyak 541, dan dosen spesialis 1 (Sp1) sebanyak 128. Universitas Negeri Malang, sebanyak 82 guru besar, sementara total dosen 936,” papar Dian di Jakarta, Jumat (19/02/2016).
"Universitas Muhammadiyah Malang memiliki 102 Doktor dan Professor, dari jumlah dosen 1969. Dari semua kampus di Malang, tidak ada satu pun kampus yang memenuhi kuota 20% kuota Guru Besar," sambungnya.
Catatan kedua, sambung Dian, dunia kemahasiswaan dalam bentuk kebebasan berekspresi dan mimbar akademik. Menurutnya, sejauh ini beberapa kampus masih membatasi ruang gerak mahasiswanya untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang disinyalir masih kontroversi atau berada di luar ideologi kampus.
Seperti aksi demonstrasi di dalam kampus dengan isu lemahnya pelayanan birokrasi atau kebijakan kampus yang merugikan mahasiswa. Bahkan, tak pelak mahasiswa akan dikenai ancaman oleh pihak perguruan tinggi, seperti peristiwa di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang tahun 2012.
“Bulan Januari 2012, enam mahasiswa UIN Malang terancam drop out (DO) gara-gara melakukan aksi demonstrasi di kampus dengan tuntutan menolak kenaikan SPP dan pengusutan dugaan korupsi oleh pihak kampus,” terang dia.
Catatan ketiga, tuntutan akademik yang terlalu padat. Dian mengatakan, padatnya tuntutan akademik menyebabkan mahasiswa kekurangan waktu untuk meningkatkan kemampuan di luar kampus dan organisasi. Dia mencontohkan, tuntutan kampus untuk lulus cepat, 3,5 tahun hanya akan berdampak pada akreditasi kampus dan indeks prestasi kumulatif (IPK) tinggi mahasiswa.
“Namun, hal itu tidak ada jaminan mahasiswa tersebut matang secara pengetahuan,” tegas dia.
Untuk menunjang kualitas mahasiswa, MDI meminta pihak perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas tenaga pengajar. MDI juga juga berharap kampus tidak lagi membatasi mahasiswanya untuk berekpresi, kritis terhadap persoalan kampus, dan inovatif.
“Sinergi antara kampus, mahasiswa, dan organisasi mahasiswa akan mampu mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi,” tukas dia.
0 komentar:
Posting Komentar